Pandemi yang disebabkan oleh virus
corona (Covid-19) sering sekali cenderung dipandang hanya dari perspektif kesehatan,
yakni sebagai penyakit. Dengan begitu, jawabannya adalah bagaimana mencegah
penyebaran dan menemukan antivirus. Kita jarang menemukan diskusi bagaimana
seharusnya membangun relasi sosial ekologi sebagai pembelajaran dari pandemi covid-19.
Covid-19 merupakan zoonosis atau penyakit satwa yang berpindah ke manusia. Kemunculannya
merupakan penanda adanya masalah antara manusia dengan alam.
Dokumen Frontiers Report tahun 2016 oleh UNEP (United Nations Environment Program)
sebuah badan PBB yang membidangi lingkungan hidup memaparkan kekhawatiran semakin
berkembangnya penyakit zoonosis. Sejak abad ke-20, telah terjadi peningkatan
drastis penyakit menular, dimana sekitar 60% merupakan zoonosis. Belum pernah terjadi
sebelumnya pengurangan drastis ekosistem alami dan keanekaragaman hayati, serta
peningkatan populasi manusia dan satwa yang didomestikasi (ternak). Sebelumnya
juga tidak banyak peluang bagi patogen untuk lolos dari alam dan ternak untuk
menjangkiti manusia.
UNEP menyebutkan bahwa rata-rata satu penyakit
menular muncul setiap empat bulan. Penyakit zoonosis muncul berkaitan erat
dengan perubahan lingkungan atau gangguan ekologis, misalnya deforestasi,
perubahan iklim, penurunan keanekaragaman hayati, serta rusaknya habitat satwa
liar itu sendiri. Will Steffen et al.
(2015) menyebut perubahan lingkungan hidup global sebagai the Great
Acceleration.
Dalam beberapa dekade terakhir, sejumlah penyakit
zoonozis muncul sebagai pandemi seperti ebola, flu burung, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), Rift Valley Fever, Sudden Acute
Respiratory Syndrome (SARS) dan penyakit oleh virus zika. Sementara itu,
covid-19 diduga berasal dari kelelawar dan trenggiling yang menjadi “intermediate
host” sebagaimana kajian oleh Professor Andrew Cunningham, Deputy Director of
Science, ZSL (Zoological Society of London), dan para ilmuwan
di South China Agricultural University.
CIRAD (Centre de coopération
internationale en recherche agronomique pour le développement), sebuah lembaga
riset Pemerintah Perancis menyatakan bahwa jika kita tidak mengurangi
aktifitas manusia yang mengancam keanekaragaman hayati maka kita mendorong penyebaran
penyakit-penyakit baru. Salah satu penyebab penyebaran patogen-patogen adalah hilangnya
keanekaragaman hayati, tidak hanya jumlah jenis kehidupan liar, namun juga
keragaman genetik oleh domestikasi/pembudidayaan. Keragaman genetik sangat
penting bagi ketahanan terhadap patogen. Keragaman genetik yang tinggi dari
spesies inang potensial akan membatasi penularan virus.
Belajar
dari pandemi covid-19, dibutuhkan penguatan pondasi kesehatan ekologi yang
berfokus pada ketergantungan bersama antara fungsi ekosistem, perilaku sosioekologi
serta kesehatan manusia, satwa dan tumbuhan. Pendekatan one health atau sehat bersama penting untuk diadopsi. Para
pengambil keputusan mulai dari global hingga lokal hedaknya mengakui
keterkaitan yang kompleks antara kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan
lingkungan bersama-sama. Pendekatan ini memastikan bahwa keputusan bagi
pembangunan yang dilakukan akan memperhitungkan konsekuensi jangka panjang terhadap
alam dan manusia. Hanya dengan ini kita bisa meningkatkan
ketahanan dan mengurangi resiko pandemi baru. (RS)