Kamis, 28 Mei 2020

Membangun Kesadaran Ekologi, Pembelajaran dari Pandemi Covid-19

Pandemi yang disebabkan oleh virus corona (Covid-19) sering sekali cenderung dipandang hanya dari perspektif kesehatan, yakni sebagai penyakit. Dengan begitu, jawabannya adalah bagaimana mencegah penyebaran dan menemukan antivirus. Kita jarang menemukan diskusi bagaimana seharusnya membangun relasi sosial ekologi sebagai pembelajaran dari pandemi covid-19. Covid-19 merupakan zoonosis atau penyakit satwa yang berpindah ke manusia. Kemunculannya merupakan penanda adanya masalah antara manusia dengan alam.

Dokumen Frontiers Report tahun 2016 oleh UNEP (United Nations Environment Program) sebuah badan PBB yang membidangi lingkungan hidup memaparkan kekhawatiran semakin berkembangnya penyakit zoonosis. Sejak abad ke-20, telah terjadi peningkatan drastis penyakit menular, dimana sekitar 60% merupakan zoonosis. Belum pernah terjadi sebelumnya pengurangan drastis ekosistem alami dan keanekaragaman hayati, serta peningkatan populasi manusia dan satwa yang didomestikasi (ternak). Sebelumnya juga tidak banyak peluang bagi patogen untuk lolos dari alam dan ternak untuk menjangkiti manusia.

UNEP menyebutkan bahwa rata-rata satu penyakit menular muncul setiap empat bulan. Penyakit zoonosis muncul berkaitan erat dengan perubahan lingkungan atau gangguan ekologis, misalnya deforestasi, perubahan iklim, penurunan keanekaragaman hayati, serta rusaknya habitat satwa liar itu sendiri. Will Steffen et al. (2015) menyebut perubahan lingkungan hidup global sebagai the Great Acceleration.

Dalam beberapa dekade terakhir, sejumlah penyakit zoonozis muncul sebagai pandemi seperti ebola, flu burung, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), Rift Valley Fever, Sudden Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan penyakit oleh virus zika. Sementara itu, covid-19 diduga berasal dari kelelawar dan trenggiling yang menjadi “intermediate host” sebagaimana kajian oleh Professor Andrew Cunningham, Deputy Director of Science, ZSL (Zoological Society of London), dan para ilmuwan di South China Agricultural University.

CIRAD (Centre de coopération internationale en recherche agronomique pour le développement), sebuah lembaga riset Pemerintah Perancis menyatakan bahwa jika kita tidak mengurangi aktifitas manusia yang mengancam keanekaragaman hayati maka kita mendorong penyebaran penyakit-penyakit baru. Salah satu penyebab penyebaran patogen-patogen adalah hilangnya keanekaragaman hayati, tidak hanya jumlah jenis kehidupan liar, namun juga keragaman genetik oleh domestikasi/pembudidayaan. Keragaman genetik sangat penting bagi ketahanan terhadap patogen. Keragaman genetik yang tinggi dari spesies inang potensial akan membatasi penularan virus.

Belajar dari pandemi covid-19, dibutuhkan penguatan pondasi kesehatan ekologi yang berfokus pada ketergantungan bersama antara fungsi ekosistem, perilaku sosioekologi serta kesehatan manusia, satwa dan tumbuhan. Pendekatan one health atau sehat bersama penting untuk diadopsi. Para pengambil keputusan mulai dari global hingga lokal hedaknya mengakui keterkaitan yang kompleks antara kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan bersama-sama. Pendekatan ini memastikan bahwa keputusan bagi pembangunan yang dilakukan akan memperhitungkan konsekuensi jangka panjang terhadap alam dan manusia. Hanya dengan ini kita bisa meningkatkan ketahanan dan mengurangi resiko pandemi baru. (RS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERAYAAAN HARI LINGKUNGAN HIDUP OLEH PROGRAM STUDI KEHUTANAN

          Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup se-dunia yang jatuh setiap tanggal 5 Juni, Program Studi Kehutanan - Universitas Halmahera me...